Minggu, 20 November 2011

pengertian pengukuran dan evaluasi


PEMAHAMAN KONSEP
Pengukuran dan evaluasi adalah dua konsep yang berkaitan. Eva­luasi adalah satu proses yang menggunakan pengukuran, dan tujuan pengukuran adalah untuk mengumpulkan informasi. Dalam proses evaluasi informasi diinterpretasikan sesuai dengan standard yang telah ditetapkan sehingga keputusan dapat diambil. Jelaslah bahwa keberha­silan satu evaluasi tergantung pada nilai dari informasi yang dikum­pulkan. Bila pengukuran itu tidak taat-asas (consistent) atau terandal (reliable) dan sahih (valid), evaluasi yang tepat tidak akan mungkin. Proses pengukuran adalah langkah pertama yang penting dalam eva­luasi; perbaikan dalam pengukuran akan menghasilkan perbaikan dalam evaluasi.
Pengukuran
Manusia berbeda-beda. Mereka berbeda dalam ukuran tubuh, ben­tuk, kecepatan, kekuatan, dan dalam banyak hal lain. Pengukuran me­nentukan tingkat atau jumlah sifat yang dimiliki seseorang. Bila hendak mengukur pertama tentukan sifat yang akan diukur dan kemudian pilih alat pengukurnya.
Sebuah sifat dapat diukur bila ia dapat dengan jelas ditentukan tentang perbedaan yang selalu dapat diverifikasi dari dua individu. (Ebel 1973). Tentu saja banyak sifat yang sulit atau tidak mungkin untuk diukur dengan alat yang ada, sebagai contoh mengajar yang baik. Tetapi sebaliknya kecepatan lari mudah untuk diukur. Bukan saja sifat itu mudah dipahami, tetapi dapat diukur dengan alat yang ada yaitu stopwatch. Stopwatch, tes tulis, tes untuk -kerja gerak, skala sikap, di­namometer, dan pita pengukur adalah alat-alat yang biasa digunakan guru pendidikan jasmani untuk mengukur sifat-sifat tertentu. Proses pengukuran memerlukan alat yang memberikan hasil ukuran yang tepat dan tetap dari sifat yang diukur. Prosedur yang dibakukan memperkecil ketidaktetapan atau kesalahan dalam proses pengukuran. Untuk pro­sedur ini digunakan konsep keterandalan dan kesahihan untuk mem­pertimbangkan keberhasilan proses. Oleh karena itu perlu dibuat alat yang terandal dan sahih untuk mengukur sifat atau ciri siswa. Karena itulah buku ini lebih ban yak menitikberatkan pada bagaimana mem­peroleh pengertian yang lebih baik tentang keterandalan dan kesahih­an dalam pengetesan.
Pengukuran dapat objektif atau subjektif; dikatakan objektif bila dua orang guru atau lebih mensekor tes yang sama dan memberi­kan skor yang sama. Gunakan pengukuran yang objektif bilamana mungkin karena ia akan lebih tetap sama dan berdaya-guna.
Evaluasi
New College Dictionary dari Webster mendefinisikan evaluasi sebagai "menentukan nilai". Guru pendidikan jasmani lebih sering menggunakan istilah ini dalam memberikan pertimbangan dari satu pengukuran yang objektif atau subyektif. Beberapa spesialis dalam pengukuran psikologik dan pendidikan telah mendefinisikan tipe-tipe dasar dari evaluasi.
Evaluasi terdiri dari pengumpulan dan penggunaan informasi ten­tang perubahan-perubahan perilaku siswa dalam membuat pertimbangan mengenai satu program pendidikan (Wiley 1970).
Evaluasi adalah pengump,ulan bukti yang sistematik untuk menen­tukan apakah sesungguhnyaperubahan-perubahan tertentu telah ter­jadi pada siswa dan juga untuk menentukan jumlah atau tingkat peru­bahan pada setiap siswa (Bloom et al. 1971).
Evaluasi telah didefinisikan sebagai proses menentukan bidang yang akan dipertimbangkan, memilih informasi yang tepat, dan me­ngumpulkan serta menganalisis informasi untuk dapat melaporkan satu rangkuman data yang bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam me­milih dari alternatif yang tersedia (Akin 1970).
Dalam konteks ini evaluasi adalah satu proses pengambilan kepu­tusan yang dinamis yang dipusatkan pada perubahan-perubahan peri­laku siswa, yaitu belajar. Proses ini terdiri dari (1) mengumpulkan data yang tepat (pengukuran), (2) mempertimbangkan data tersebut dengan menggunakan tolok-ukur tertentu, dan (3) membuat keputusan berda­sarkan data dan tindakan-tindakan yang ada. Fungsi" evaluasi adalah untuk memudahkan pertimbangan nalar dalam usaha untuk memper­baiki belajar siswa.
Evaluasi dari pengajaran merupakan masalah pokok bagi guru pen­didikan. Wittrock (1970) melaporkan bahwa evaluasi untuk itu me­liputi tiga dimensi pokok : (1) lingkungan belajar, (2) yang belajar, dan (3) belajar.
Tujuan evaluasi dari lingkungan belajar adalah untuk mengidenti­fikasiciri-ciri dari siswa dan benda-benda di sekelilingnya, seperti kuan­titas dan kual itas stasiu n mengajar, alat-alat dan perkakas, dan staf pe­ngajar serta jumlah siswa dalam kelas. Kita tidak dapat mempertanya­kan nilai dari lingkungan belajar yang baik, tetapi hal itu sangat suiit untuk didemonstrasikan bahwa ciri-ciri dari kemanusiaan dan benda­benda disekelilingnya adalah penyebab untuk menghasilkan perubahan­perubahan perilaku yang diinginkan pada siswa. Sebagai contoh diper­lukan sebuah kolam renang untuk mengajar berenang, tetapi hanya de­ngan adanya sebuah kolam renang tidak menjamin bahwa siswa akan dapat belajar berenang.
Evaluasi mengenai peserta didik meliputi mempertimbangkan ke­kuatan dan kelemahan siswa yang berkaitan dengan sifat atau karek­teristik yang dipilih. Tujuannya bukanlah untuk mengatakan perbe­dan-perbedaan itu "baik" atau "jelek" tetapi evaluasi itu digunakan untuk membantu belajar.
Dimensi terakhir dalam model evaluasi dari Wittrock adalah "eva­luasi belajar atau evaluasi dari perubahan-perubahan perilaku yang re­latif permanen terjadi sebagai hasil pengalaman". Proses ini meliputi pengukuran kemajuan dari seorang siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jenis evaluasi ini terdiri dari tiga langkah pokok. (1) menentukan tujuan instruksional yang diinginkan, (2) membuat satu standar pencapaian dari tujuan, (3) mengukur pencapaian tujuan dari siswa setelah diberi pelajaran. Evaluasi dari belajar tergantung pada kemampuan guru melaksanakan c1engan baik ketiga langkah ini.
Walaupun keberhasilan mengajar dapat dipertimbangkan dari sudut dimensi evaluasi (Iingkungan, siswa, dan belajar), sebuah pertimbangan yang lebih penting adalah cara ketiga komponen itu berfungsi. Tujuan ideal dari tujuan instruksional adalah untuk mendemonstrasikan kapa­sitas dari satu lingkungan (atau program) menghasilkan perubahan­perubahan yang diinginkan dalam perilaku siswa biJa diukur dengan alat yang baik, dan untuk membandingkan pengaruh-pengaruh ini de­ngan standar yang telah ditetapkan.


Standar untuk Evaluasi
Ingat bahwa evaluasi adalah satu proses memberikan makna bagi satu pengukuran dengan mempertimbangkannya dengan standar ter­tentu. Dua jenis standar yang paling banyak digunakan adalah acuan­kriteria dan acuan-norma. Glaser (1963) menjelaskan bahwa sekor dari alat pengetes dapat memberikan dua jenis intormasi. Yang satu berkena­an dengan tingkat seberapa jauh siswa telah mencapai satu tarat kete­rampilan tertentu, yang telah diukur standar acuan-kriteria. Mengem­bangkan satu standar acuan-kriteria memerlukan definisi yang ekspli­sit dari tugas yang akan dicapai, atau menggunakan pertimbangan pakar untuk menentukan satu standar untuk -kerja. Sebaliknya, standar acuan­norma berkenaan dengan penyusunan urutan dari individu. Prosedur statistik digunakan untuk memperoleh standar acuan-norma, biasanya disebut norma. Guru menggunakan standar acuan-norma untuk mem­pertimbangkan untuk -kerja siswa dibandingkan dengan untuk -kerja siswa-siswa lainnya dalam satu kelompok, umpamanya anak-anak laki­laki dari kelas 6 dari satu sekolah. Dalam beberapa hal norma diguna­kan untuk mengembangkan standar acuan-kriteria.
Standar acuan-kriteria telah menjadi lebih populer dengan peng­gunaan lebih banyak dari tujuan peri-Iaku, yang menyatakan apa yang diharapkan harus dicapai siswa sebagai hasil belajar (Dougherty dan Bonanno 1979). Sebuah tujuan peri-Iaku yang telah dituliskan dengan baik menentukan secara khusus tingkat untuk -kerja yang menuntuk ­kan bahwa siwa telah mencapai tujuan.
Journal ot Educational Measurement terbitan musim dingin ta­hun 1978 telah memuat pertentangan antara yang setuju dan tidak-se­tuju mengenai standar acuan-kriteria; satu topik yang kontroversiai. Satu masalah pokok adalah menentu kan standar. Glass (1978) menen­tangan penggunaan standar acuan-kriteria, karena standar itu sering ditentukan sesuai pendapat yang menentukannya, sehingga mengun­dang pertanyaan tentang batas lulus. Umpamanya, sebuah standar umum untuk tes tulis adalah menjawab betul 87 persen dad jumlah pertanyaan. Menurut Amrick (1971) tidak ada pembenaran ilmiah untuk standar ini; pada umumnya ia berdasarkan pada tradisi. Antara iain Popham (1978) menyetujui penggunaan standar acuan-kriteria dengan mengatakan bahwa dalam ketiadaan standar banyak guru akan menghindari sama sekali standar itu.
Dalam banyak hat guru atau sekelompok guru menentukan standar acuan-kriteria, walaupun beberapa tes kesegaran jasmani yang baru meinberikan standar. Bila ia digunakan standar acuan-kriteria harus mencerminkan tingkat pencapaian yang dicapai o!eh puku! rata siswa setelah belajar secara memadai. Bila sebuah standar telah ditetapkan, penting sekali untuk diketahui bahwa standar itu tidak dapat diubah sama sekali. Standar sebagaimana juga tujuan harus ditinjau secara berkala untuk meyakinkan bahwa ia masih mencerminkan tingkat pen­capaian yang masuk akal.
Seorang guru dapat memakai salah satu atau kedua tipe standar untuk mempertimbangkan untuk -kerja siswa. Pemilihan ditentukan oleh tipe keputusan yang akan diambil guru. Umpamakan sebagai con­toh, bahwa sebuah tes untuk satu unit mengenai kesegaran jasmani mengukur jarak seorang siswa lari dalam 12 men it. Standar acuan-kri­teria mungkin kemampuan lari 1% mil dalam 12 menit, sehingga seseorang siswa yang dapat lari sejauh 1 % mil dalam 12 menit telah mencapai tingkat kesegaran jasmani yang dapat diterima. Standar acuan-norma akan membanding jarak yang telah ditempuh siswa dalam tes dengan jarak yang ditempuh oleh siswa-siswa lain yang sejenis dan seumur yang dites dalam kondisi yang sama. Dengan menggunakan standar acuan­norma ke 99persentil - 1 % mil itu lebih jauh dari jarak yang ditempuh oleh 99 persen dari para siswa yang seumur dan sejenis.
Standar acuan-kriteria adalah untuk menentukan standar untuk ­kerja semua siswa. Standar acuan-norma lebih bernilai untuk mem­bandingkan antara siswa, bila situasi menghendaki satu taraf seleksi. Dengan menggunakan standar acuan-kriteria guru hanya akan menen­tukan bahwa siswa yang dapat lari sejauh 1% mil dalam 12 menit telah mencapai tingkat kesegaran jasmani yang dapat diterima. Tetapi bila menggunakan standar acuan-norma, guru dapat menentukan bahwa sis­wa itu mempunyai kemungkinan yang baik untuk menonjol sebagai seorang pelari jarak jauh. Berdasarkan pertimbangan ini guru dapat mendorong siswa ini untuk menggabungkan diri dengan tim pelari.

Evaluasi Formatif dan Sumatif
Biasanya evaluasi di sekolah meliputi pemberian tes pengetahuan atau keterampilan pada akhir unit pelajaran. Safrit (1973) melihat bah­wa guru pendidikan jsmani sering secara keliru menganggap bahwa waktu itulah yang tepat untuk menilai pencapaian. Sebetulnya tes dalam pengajaran adalah untuk meningkatkan belajar. Penelitian belajar ge­rak (motor learning) menuntuk kan bahwa umpan balik merupakan sa­lah satu ubahan yang paling kuat dalam belajar. Bloom dan teman­temannya (Bloom et a!. 1971) mendalilkan bahwa untuk mencapai penguasaan tingkat-tingkat belajar, evaluasi harus berkesinambungan.
Penguasaan belajar (mastery learning) tergantung pad a dua tipe dasar evaluasi: fomatif dansumatif. Evaluasi formatifdimulai pada tahap­tahap awal belajar dan berlanjut selama unit instruksional. la meliputi pembagian unit belajar menjadi unit-unit keeil, dan mengevaluasi pe­nguasaan siswa ten tang unit-unit keeil selama dalam pengajaran. Tujuan utamanya adalah "untuk menentukan tingkat penguaaan dari tugas belajar yang diberikan dan untuk menentukan secara terinci bagian tugas yang tidak dikuasai" (Bloom et at. 1971, h.61). Evaluasi formatif meningkatkantaraf belajar yang tinggi bagi seluruh siswa dan meno­long guru maupun siswa menentukan apa yang masih harus dipelajari.
Evaluasi sumatif sebaliknya, dilaksanakan pada akhir pelajaran. la digunakan untuk menentukan apakah tujuan-tujuan yang lebih luas telah dicapai, dan untuk mengukur tingkat pencapaian dengan mem­berikan nilai. Evaluasi sumatif juga digunakan dalam bidang-bidang be­lajar yang tujuannya tidak dapat didefinisikan seeara jelas dari sudut perilaku. Kesamaan dan perbedaan antara evaluasi formatif dan suma­tif telah diidentifikasi oleh Bloom dan teman-temannya yang dirang­kum seperti terlihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1
Persamaan dan Perbedaan Antara Evaluasi Formatif dan Sumatif

Formatif
Sumatif
Manfaat

Umpan-baik bagi siswa dan gu ru mengenai kemajuan selama satu unit instruksional
Memberi sertifikat atau nilai pada akhir satu unit, semester, atau mata pelajaran
Waktu
Selama pelajaran
Pada akhir satu unit, semester, atau mata pe­lajaran.
Titik be­rat evaluasi

Perilaku didefinisi seeara eksplisit
Kategori perilaku yang lebih luas atau gabungan dari beberapa perilaku tertentu.
Standard
Acuan-kriteria

Pada umumnya acuan­norma, tetapi dapat juga acuan-kriteria
Satu sistem evaluasi yang baik menggabungkan evaluasi formatif dan sumatif, dengan mempertimbangkan pencapaian kelompok dan perbedaan dalam pencapaian siswa-siswa dalam kelompok. Ini ber­arti bahwa pelajaran harus memberikan kesempatan bukan hanya bagi ~banyakan siswa untuk mencapai tujuan-tujuan yang penting, tetapi juga bagi siswa yang tinggi kemampuannya untuk mencapai potensi maksimalnya. Sebagai contoh, dapat diharapkan bahwa semua siswa mampu berenang sejauh panjang kolam, satu tujuan berenang untuk mempertahankan hidup. Pada waktu yang sama guru dapat menentu­kan efisiensi berenang dengan cara menghitung jumlah pukulan yang dilakukan siswa untuk berenang sepanjang kolam renang. Kemampu­an siswa untuk berenang sepanjang kolam adalah satu tipe evaluasi formatif, kemampuan siswa untuk berenang sepanjang kolam adaiah satu bentuk dari evaluasi sumatif. Kedua prosedur evaluasi harus di­gunakan untuk memaksimalkan pencapaian siswa.
FUNGSI DARI PENGUKURAN DAN EVALUASI
Fungsi-sungsi Umum dari Pengukuran
Sering sekali guru pendidikan jasmani memberikan tes tanpa mem­punyai tujuan tertentu, membuang-buang waktu dan energi dari guru dan para siswa. Tujuan akhir dari mengukur siswa adalah untuk me­ningkatkan proses mengambil keputusan sehingga pelajaran dapat di­perbaiki. Selain ini ada enam fungsi umum yang memudahkan pro­sesinstruksional yang telah diterima secara luas (Educational Testing Service 1959; McCloy dan Young 1954):
1.           Penempatan. Pengukuran dapat digunakan untuk menempatkan siswa dalam kelas atau kelompok sesuai dengan kemampuannya. Sekor tes atau hasil pengukuran tinggi atau berat dapat digunakan untuk penempatan atau penggolongan siswa dalam hubungan de­ngan siswa lain atau kurikulum. Standar acuan-kriteria diguna­kan untuk pertimbangan mengenai penempatan kelompok.
2.          Diagnosis. Pengukuran dapat digunakan untuk mendiagnosis kele­mahan-kelemahan, sehingga pekerjaan remedial individual dapat dilaksanakan. Sebaliknya penempatan biasanya berkenaan dengan status siswa dalam kelompok, diagnosis digunakan untuk mengi­solasi kelemahan-kelemahan tertentu, yang menyebabkan status siswa rendah.
3.          Eva/uasi Belajar, Tujuan pengukuran adalah untuk menentukan apakah seorang siswa telah mencapai tujuan instruksional. Standar acuan-kriteria atau acuan-norma dapat digunakan. Penempatan, diagnosis, dan evaluasi belajar semuanya membentuk dasar bagi pengajaran individual.
4.       Ramalan. Pengukuran dapat dipakai untuk meramalkan tingkat pencapaian siswa dalam aktivitas mendatang. Ramalan menyerupai penempatan dalam apa yang dicarinya, dari satu pengukuran sta­tus sekarang, ke informasi dari pencapaian mendatang; ia berbeda dari penempatan dalam membantu siswa memilih aktivitas yang mungkin seka!i dapat dikuasainya. Sebagai contoh, untuk -kerja seorang siswa dalam satu program pendidikan jasmani dapat mem­beri petuntuk  satu kemungkinan keberhasilan yang tinggi dalam olahragaantar-sekolah, standar acuan-norma digunakan untuk tujuan meramaikan.
5.       Evaluasi Program. Keempat fungsi diatas berhubungan dengan evaluasi delam sekolah; evaluasi program membandingkan program instruksional satu sekolah dengan program sekoiah lain, biasanya menggunakan tes baku nasional untuk tujuan tersebut. Kesu!itan dalam pembakuan prosedur tes pendidikan jasmani, ditambah lagi dengan sejumlah faktor lain yang tidak dapat dikontrol yang mem­pengaruhi sekor, menyebabkan membuat pertimbangan tentang efektivitas dari satu program instruksiona.l menjadi usaha yang ber­bahaya bila dibandingkan dengan standar nasional. Tentu saja per­bandingan antar-sekolah dengan memakai populasi yang sama dan prosedur tes yang dibakukan akan lebih bernilai.
6.       Motivasi. Tes untuk -kerja dapat memotivasi siswa. Pencapaian yang berhasil dari satu standar acuan-kriteria dapat mendorong siswa "berkemampuan rendah" untuk mencapai taraf untuk -kerja yang lebih tinggi; dan standar acuan-norma dapat memotivasi siswa untuk mencapai hasil terbaik.
Evaluasi Proses lnstruksional
Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif tetap sebagai akibat belajar. Tujuan evaluasi dan program pendidikan jasmani adalah untuk menghasilkan'perubahan yang diinginkan dalam peri-Iaku siswa. Tujuan satu unit instruksional menentukan apa yang akan dicapai; evaluasi menentukan apakah tujuan capai. Jadi tujuan-tujuan, pengu­kuran, dan evaluasi adalah faktor-faktor yang saling tergantung dalam proses intruksional.
Tujuan-tujuan Pendidikan Jasmani
Tujuan itu penting untuk memberikan kepada program pendidi­kan arah intruksional dan evaluasi dan juga pertanggung-jawaban (accountability). Dengan memberikan uraian tentang apa yang akan di­capai, tujuan memberikan kepada guru arah, bukan hanya tentang ma­teri yang akan diajarkan, tetapi juga memberi arah untuk menilai pen­capaian siswa. Program instruksional yang. telah ditetapkan dengan baik dan begitu pula teknik evaluasinya merupakan dasar pertanggung­jawaban, penentu apakah belajar telah menghasilkan hasil yang diingin­kan.
Tujuan itu dapat umum atau khusus. Pada ekstrim yang satu ada­lah tujuan luas, tujuan jauh dari pendidikan jasmani; pada ekstrim yang lain adalah tujuan instruksional atau perilaku. Sekarang kecenderungan dalam pendidikan jasmani untuk menggantikan tujuan umum dengan tujuan-tujuan khusus dinyatakan dalam bentuk perilaku. (Siedentop 1976).
Tujuan umum dari pendidikan jasmani menentukan ranahnya (domain) dalam rumusan umum. Secara tradisional tujuan-tujuan umum itu adalah sebagai berikut:
1.    Perkembangan Organik. Ke dalam ini termasuk unsur-unsur kese­garan jasmani seperti kekuatan, daya ledak, daya tahan, dan daya ­tahan kardiovaskuler.
2.    Perkembangan Nuromuskuler. Ke dalam ini termasuk kordinasi, untuk kerja gerak, keterampilan olahraga, aktivitas gerak lain.
3.    Perkembangan Personal-Sosial. Ke dalam ini termasuk sikap po­sitif, jiwa sportif, kepemimpinan, dan perilaku demokratis.
4.    Perkembangan kemampuan menalar. Ke dalam ini termasuk pe­ngetahuan, strategi, dan pemahaman.
Bila dipelajari tujuan-tujuan ini perumusannya tidak begitu jelas, sulit untuk dievaluasi. . Sebagai contoh kesegaran jasmani adalah tujuan umum yang biasa dari program pendidikan jasmani, tetapi konsep ke­segaran jasmani mempunyai beberapa arti bagi pendidik. Ketidakjela­san ini menyulitkan untuk menentukan apakah satu program instruk­sional sesungguhnya telah mencapai tujuan umum.  
Sebaliknya tujuan-tujuan instrnksional memberi kejelasan kepada guru dan siswa apa yang harus dicapai. Tujuan-tujuan instruksional yang sering juga dinamakan perilaku, untuk kerja, atau tujuan hasil, meme­rinci (1) tugas yang harus dipelajari, (2) dalam kondisi yang bagai­mana tugas itu akan dilaksanakan, dan (3) standar acuan-kriteria yang akan digunakan untuk mengevaluasi tugas (Siedentop 1976). Tujuan­-tujuan instruksional mempunyai dua buah fungsi. Pertama, ia memban­tu guru merancang dan menilai hasil pengajaran. Kedua, ia mengkomu­nikasikan hasil-hasil belajar kepada (1) siswa yang berniat mempelajari unit tertentu, dan (2) guru yang mengajar unit yang lalu dan yang ber­ikutnya, dan (3) orang yang bertanggung jawab dalam merancang dan menilai kurikulum.
Tujuan umum dapat diterjemahkan ke dalam tujuan-tujuan peri­laku dalam satu unit pelajaran. Umpamakan, tinjau tujuan umum "me­ngembangkan kesegaran jasmani." Tujuan umum yang tidak jelas ini dapat dipecah menjadi satu seri tujuan perilaku, umpamanya untuk anak laki-laki kelas satu SMP :  
1.    Pada akhir unit pelajaran kesegaran jasmani, siswa mampu lari atau jalan sejauh 11,12 mil dalam 12 menit.
2.    Pada akhir unit pelajaran kesegaran jasmani, siswa mampu mela­kukan paling kurang tiga kali gantung-angkat tanpa menyepak-­nyepakkan kaki.
3.    Pada akhir unit pelajaran kesegaran jasmani, siswa mampu me­lakukan paling kurang 40 baring-duduk dalam dua menit.
Tujuan-tujuan perilaku dalam satu unit memberikan kepada guru dan siswa tujuan-tujuan yang dapat dicapai melalui pelajaran dan latih­an. la juga memberikan landasan untuk pelajaran sehari-hari, memberi­kan peluang kepada guru untuk memgembangkan tujuan-tujuan in­struksional yang memperkaya tujuan unit. Sebagai contoh, tujuan peri­laku pertama pada daftar di atas dapat dipecah lebih lanjut, "Selagi waktu diambil, siswa akan berjalan atau lari 1 mil dalam 10 menit." Tujuan instruksional ini, yang disajikan pada awal unit tentang kese­garan jasmani, akan membantu siswa bekerja untuk mencapai tujuan unit. Pengembangan tujuan-tujuan perilaku dan tujuan-tujuan peca­hannya telah dibicarakan lebih terinci dalam Dougherty dan Bonanno (1979), Kibler at al. (1970), dan Siedentop (1976).
Nilai tujuan-tujuan instruksional terletak pada kekhususannya; ia tidak saja memberi arah yang eksplisit, tetapi juga memberi satu de­finisi perilaku yang akan diukur dan dievaluasi. Kekhususan ini pula telah memberi peluang untuk kritik yang sahih, bahwa tujuan-tujuan instruksional cenderung menjadi sempit dan sepele, membuat inti pe­lajaran tidak jelas. Kritik lain adalah bahwa standar acuan-kriteria cen­derung bersifat perorangan, tidak sungguh-sungguh menentukan taraf untuk-kerja yang penting.
Untuk sampai kepada satu standar acuan-kriteria untuk satu tujuan instruksional guru harus mengetahui (1) sifat-sifat perkembang­an siswa, (2) kapasitas untuk kerjanya, dan (3) rentangan keseluruh­an dari perilaku yang mewakili sifat-sifat yang dipertimbangkan. Bia­sanya guru pendidikan jasmani bersandar pada pengalaman untuk me­nentukan kapasitas siswa, dan menilai pencapaian siswa sesuai dengan itu. Ada beberapa standar untuk-kerja yang memungkinkan guru me­nilai keterampilan secara obyektif, sebab itu standar acuan-kriteria yang digunakan untuk membuat tujuan instruksional sering mempunyai akar para acuan-norma agar berfungsi. Biasanya ini memberikan dasar yang kuat untuk menentukan perilaku siswa pada umumnya dalam satu situasi tertentu, walaupun dalam kelas pendidikan jasmani yang biasa guru bekerja dengan semua rentangan kemampuan.
Standar acuan-kriteria dapat berguna dalam mengembangkan satu pencapaian yang diinginkan secara meningkat. Dengan mengubah kriteria untuk mengevaluasi satu tujuan perilaku, guru dapat membim­bing siswa melalui satu rentangan pencapaian. Sebagai contoh, tinjau perkembangan fungsi kardiorespiratori, satu komponen dari AAHPERD Health Related Physical Fitness Test (1980). Pada permulaan tahun pelajaran, sekolah kebanyakan siswa mungkin belum latihan aerobik secara teratur, jadi belum dapat diharapkan berprestasi baik untuk lari 1 mil. Dengan memberikan latihan aerobik secara intensif dan progresif, dan dengan menilai latihan dengan standar acuan-kriteria yang mening­kat pula, daya tahan kardiorespiratori siswa akan meningkat kearah tingkat kriteria akhir, yang dalam hal ini persentil ke 50.
Sudah barang tentu guru harus menentukan tingkat pencapaian siswa pada setiap tahap penilaian dalam unit itu. jelas beberapa siswa tidak akan mencapai standar sekarang, sedangkan yang lainnya dapat lebih baik. Tetapi proses itu tidak memberikan kepada guru satu dasar untuk mengevaluasi untuk -kerja siswa dan yang lebih penting lagi bah­wa latihan itu dapat dipertahankan karena terbukti memberikan sum­bangan kepada pencapaian siswa terhadap tujuan perilaku.
Dalam banyak hal pengembangan standar acuan-kriteria ada­lah pekerjaan dari seorang guru atau seke!ompok guru. Bila kriteria didasarkan pada standar acuan-norma seperti contoh dengan tes ke­segaran jasmani AAHPERD baru, yang akan dibahas nanti dalam bab selanjutnya, ia cenderung merupakan standar yang memadai atau me­rupa"an titik tolak untuk menentukan pencapaian yang baik. Penga­laman dan pengetahuan guru tentang tingkat pencapaian yang diingin­kan juga akan membantu dalam mengembangkan tujuan-tujuan instruk­sional yang baik dengan standar acuan-kriteria. Guru akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk memberikan dan mempertahankan satu program pendidikan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Sudah secara umum disepakati bahwa ranah kognitif, afektif dan psikomotor merupakan kerangka yang luas dari ciri-ciri perilaku ma­nusia yang penting bagi para pendidik. Ranah kognitif meliputi pe­ngetahuan dan kemampuan intelektual (Bloom et al. 1964). Ranah a­fektif meliputi suka dan tidak suka, sikap, nilai, keyakinan dan perwu­judan emosi lainhya (Krathwohl et al. 1964). Annorino (1977, 1978), Harrow (1972), dan Jewett dan sejawatnya (1971) telah menerbitkan penggolongan ranah psikomotor, yang bercirikan kekuatan, daya ledak, kelincahan, keseimbangan, kinestetik, persepsi, kelentukan dan yang sejenis.
Untuk memenuhi tujuan-tujuan umum dari pendidikan jasmani, programnya berusaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan peri­laku dalam ketiga ranah. Perlu ditekankan bahwa sejumlah perilaku tertentu lebih sulit untuk dievaluasi daripada yang lain; pada umum­nya tujuan efektif lebih sulit untuk dievaluasi dari pada tujuan kognitif atau psikomotor.
SATU MODEL SISTEMATIK DARI PENGAJARAN
Dapat diuraikan sifat dari satu unit pelajaran yang menggunakan tujuan-tujuan instruksional dalam unitnya atau tes yang mengukur ke­manjurannya. Tujuan-tujuan dan instrumen-instrumen yang dipakai untuk mengevaluasi pencapaian siswa memerlukan definisi operasional tentang apa yang dinilai guru. Gambar 1.1. adalah satu model pelajar­an yang menggambarkan hubungan timbal balik.
Gambar 1.1.
Sebuah yang sismatik dari pengajaran

Tujuan Instruksional
Pra-asesmen
Prosedur Instruksional
Prosedur Pengukuran
Evaluasi

Model membuat daya-guna pelajaran maksimal dengan penekan­an pada satu keinginan bahwa semua siswa mencapai tujuan-tujuan khu­sus. Komponen-komponen model adalah sebagai berikut :
1.       Tujuan-tujuan instruksional. Persiapan tujuan-tujuan instruksional adalah langkah pertama dalam proses karena tujuan-tujuan menen­tukan apa yang akan diajar.
2.       Prapenilaian. Prapenilaian mencoba untuk menjawab pertanyaan­-pertanyaan berikut : (1) Seberapa ban yak bahan dari unit sudah dipelajari? (2) Apakah para siswa mempunyai kapasitas untuk mencapai tujuan-tujuan instruksional? (3) Aktifitas instruksional apakah yang harus dirancang untuk membantu tiap siswa men­capai tujuan-tujuan instruksional. Prapenilaian tidak perlu melaksanakan tes yang akan diberikan setelah pelajaran; ia dapat terdiri dari bentuk pengukuran apapun yang dapat membantu siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
3.       Prosedur lnstruksional. Prosedur instruksional adalah cara dan aktifitas yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah disepakati. Prosedur instruksional yang berbeda mungkin diper­lukan untuk memenuhi kebutuhan tiap-tiap siswa. Sebagai contoh, seorang guru tidak akan menggunakan metode dan aktifitas yang sama bagi perenang yang berkemampuan sedang dengan yang perenang pemula.
4.       Prosedur pengukuran. Pengukuran meliputi pemilihan atau pe­ngembangan suatu instrumen (biasanya sebuah tes) untuk mengu­kur pencapaian dari tujuan-tujuan. Sebagaimana Klein (1971) mencatat, tidaklah mungkin bahwa satu tes baku [umpamanya, AAHPER Youth Fitness Test (1976] dapat menduplikat sebuah tujuan instruksional dari guru. Adalah esensial bahwa guru meran­cang dan mengembangkan alat pengukuran khusus kepunyaannya.
5.      Evaluasi. Begitu siswa telah menyelesaikan unit instruksional dan pencapaian telah diukur, untuk  kerjanya dievaluasi untuk mene­tukan apakah pelajaran telah menghasilkan perilaku yang telah ditetapkan oleh tujuan-tujuan instruksional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar